Salah satu kebijaksanaan yang terlihat sederhana namun sungguh teramat baik saat orang tua mulai mengajarkan anaknya untuk selalu berbagi berkat kepada saudara maupun teman. Ajaran yang terkesan biasa saja atau hanya untuk mengajar anak agar tidak pelit, sebenarnya mengandung makna kebahagiaan bagi anak itu di masa depan. Anak akan terbiasa menjadi seorang pemberi bukan sebagai penerima. Meskipun lebih mudah menjadi penerima daripada pemberi, memberi jauh lebih memuaskan daripada mengambil.
Latihan menjadi seorang yang mampu berbagi atau pemberi akan menjadi kebiasaan yang mengiringi pertumbuhan anak terbut. Kebiasaan memberi akan membuat anak tersebut menjadikannya semakin mengerti akan arti kebutuhan, mengerti makna solidaritast, makna kebersamaan bahkan lebih dalam dan jauh adalah memiliki rasa puas akan makna kehadirannya di muka bumi ini.
Persaingan hidup di jaman ini memaksa kita untuk menimbun segala sesuatunya menghadpi masa depan. Masa depan dalam pandangan kekinian adalah sebuah lorong gelap yang tidak jelas jarak dan arahnya. Masa depan atau masa tua adalah penderitaan, kesengsaraan dan kelemahan. Nanti makan apa ? tinggal dimana ? jika sakit tak memiliki uang tabungan bagaimana berobatnya ?
Memang tidak salah untuk berhemat sekarang dengan hidup sederhana agar di hari tua masih tetap dapat menjalani hidup dengan wajar. Tidak salah pula memiliki tabungan untuk menyenangkan diri dengan berbagai hal.
Ketidakwajaran yang dimaksud adalah kecemasan.
Rasa cemas timbulkan perasaan tidak tenang dan menghilangkan rasa percaya akan pertolongan Tuhan. Bukankah Tuhan adalah Sang Arsitek Kehidupan ? Arsitek yang mengenali bayi sejak dalam kandungan ibunya dan mengetahui hingga seutas rambut berubah menjadi uban. Bukankah Tuhan itu selalu memberi tanpa pernah berharap untuk menerima imbalan atas apa yang telah diberi. Bukankah ini teladan sejati yang dinyatakakan, Ia memiliki hidup dan hidup itu diberi kepada manusia dan manusiapun selayaknya memberi hidup kepada sesamanya dan alam.
Mengapa takut untuk memberi hidup kepada sesama ? Bukankah hidup yang kita miliki ini adalah Anugra ( anu Gratis ).
Seperti ilalang sepadang yang terbakar habis oleh api dan angin, begitu pula rasa syukur itu akan terbakar habis oleh kecemasan akan masa depan.
.
Bumi tempat kita berpijak sungguh luar biasa, begitu luas dan beragam namun akal budi sanggup mengukur dan membedakan. Emosi begitu dalam dan tak terkira namun iman sanggup menjelajahi kedalaman emosi bahkan menemukan singgasana Tuhan.
21 Elul