Rencana pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan membangun New Heritage Toraja atau Pusat Keunggulan Budaya Toraja untuk mengembalikan predikat Toraja sebagai daerah budaya dan upaya pelestarian budaya. Dahulu, Toraja dikenal sebagai daerah yang memiliki keunikan budaya dan mampu menarik kunjungan banyak wisatawan manca negara. Untuk mendukung rencana pemerintah, salah satu aspek vital pembangunan New Heritage Toraja adalah akses transportasi yang memadai dan terkoneksi langsung dengan negara asal wisatawan seperti Malaysia dan Singapura.
Bandara dengan fasilitas lengkap dan moderen, menjadi pintu gerbang yang baru bagi Kabupaten Tana Toraja. Selain jalur darat yang sudah ada dengan waktu tempuh lebih kurang 8 jam. Pemerintah Toraja menyiapkan kawasan seluas 300 hektar untuk pembangunan bandara baru ditengah pusat budaya Toraja. Sekilas balik, mantan Bupati Tana Toraja periode 1990 – 1995, T.R. Andilolo, pernah berencana untuk merelokasi bandara Pongtiku di Rantetayo ke Mengkendek. Tahun 2010 lalu DPRD Tana Toraja memberi lampu hijau dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp.20 milyar untuk pembebasan lahan bagi bandara baru. Lokasi bandara baru terletak di Buntu Kuni’ diantara Lembang Tampo Simbuang, Rante Dada dan Buntu Marinding di kecamatan Mengkendek. Areal bandara baru seluas 225 hektar rencananya dilengkapi dengan landasan pacu sepanjang 1.650 meter, terminal moderen, parkiran kendaraan, fasilitas gudang dan perkantoran. Nilai total proyek bandara buntu Kuni’ dianggarkan sebesar 700 milyar bersumber dari APBN, APBD Propinsi Sulawesi Selatan dan APBD Tana Toraja. Bandara baru di Buntu Kuni’, direncanakan memulai kegiatan konstruksi pada awal tahun 2013 dan akan dioperasikan pada penghujung tahun 2014.
Pertengahan tahun 2010, Pemerintah Tana Toraja membentuk Tim 9 untuk persiapkan lahan bagi pembangunan bandara Buntu Kuni’. Tim 9 diketuai oleh Enos Karoma ( Sekretaris Daerah Kabupaten Tana Toraja sebagai Ketua Tim 9 ), Kalvin Kadenganan (Kepala Pertanahan sebagai Sekretaris Tim 9), Gerson Papalangi ( (KaDis Tata Ruang), Palayukan ( KaDis Pertanian), Zeth Jhonson Tolla ( KaDis PU ), Agus Sosang ( KaDis Perhubungan), Haris Paridi ( KaDis Kehutanan ), Yunus Sirante ( Kepala Bappeda ), dan Ruben Rombe Randa ( Camat Mengkendek ). Pada tanggal 1 Desember 2010, Tim 9 membentuk Satuan Tugas yang terdiri dari tokoh adat, pejabat PemKab, Lurah, Aktivis LSM, wartawan dan pensiunan tentara. Satgas berugas membantu Tim 9 dalam proses pembebasan lahan dan sosialisasi ditengah masyarakat. Masa kerja satgas selama 6 bulan dengan upah sebesar Rp. 450.000/ Bulan.
Tim 9 melaksanakan tugasnya mengacu kepada Perpres No.65/2006 pasal 7 yang mengatur tentang 8 tugas panitia pengadaan tanah (Panitia 9). Tim 9 menerjehmahkannya menjadi 7 tahap kegiatan teknis persiapan lahan bandara buntu Kuni’, terdiri dari ; Sosialisasi Rencana Pembangunan Bandara Baru di Mengkendek, Inventarisasi Lahan, Sosialisasi Harga, Pendataan Lahan Siap Bayar, Verifikasi Data Kepemilikan Tanah, Pengumuman Hasil Verifikasi, Pembayaran Ganti Rugi. Namun sejalan dengan pelaksanaan tahapan kegiatan proses pembebasan lahan, kekeliruan dan pelanggaran nampak sejak tahap sosilalisasi rencana pembangunan Bandara Buntu Kuni’ hingga tahap pembayaran ganti rugi.
Sampai sejauh itu, langkah kerja yang ditempuh Tim 9 tidak terdapat kekeliruan yang mendasar hingga tahap pembayaran ganti rugi, minggu ke III Juli 2011. Kesemrawutan administrasi dan pemilikan hak atas tanah, salah bayar, mark-up harga ganti rugi tanah, penyerobotan tanah dan korupsi.
Salah seorang mantan anggota satgas yang ditemui media Lintas Indonesia, menjelaskan, “ pelaksanaan sosialisasi pembangunan bandara baru dilakukan di SMPN Tampo tanggal 22 Januari 2011. Peserta sosialisasi penduduk Mengkendek yang tanahnya mungkin masuk dalam site plan Bandara Buntu Kuni’ itu. Berita acara kegiatan ini tidak dibuat sehingga dialog peserta dan Tim 9 tak tercatat. Demikian pula pada tahapan sosialisasi Harga Ganti Rugi Tanah, tanpa berita acara kesepakatan pemilik tanah. Hal ini terlihat dilakukan dengan sengaja oleh Tim 9. Satgas tidak pernah diajak untuk berdialog sebab Tim 9 kelihatannya bekerja sendiri. Saya mengundurkan diri karena selama 10 bulan bekerja, kami ©disebutkan namanya. Mantan anggota satgas lainnya menambahkan, “ inventarisasi lahan berupa hasil pengukuran dan pemetaan yang mestinya disampaikan secara luas kepada masyarakat, hanya disampaikan dari mulut ke mulut, berakibat sebagian besar masyarakat pemilik tanah di lokasi pembangunan bandara Buntu Kuni’ tidak mengetahui apakah lahan mereka masuk atau berada di luar lokasi. Pengumuman hasil verifikasipun tidak transparan dan tidak dilakukan sesuai Perpres 65/2006 maupun Peraturan BPN dimana hasil verifikasi tersebut harus diumumkan secara terbuka dan luas melalui pengumuman di Kantor Lurah, Camat maupun ditempat-tempat umum seperti pasar dan rumah ibadah. “.
BPN dalam keterangannya, “ Tim 9 melakukan verifikasi data kepemilikan tanah secara sepihak tanpa melibatkan Badan Pertanahan Nasional Tana Toraja maupun para pemilik tanah sehingga tidak memenuhi syarat sebagai alas hak atas tanah. BPN Tana Toraja menolak menerbitkan alas hak yang dibutuhkan sebagai alat bukti sah untuk pencairan anggaran pembangunan infrastruktur bandara dari paket APBN “.
Rapat dengar pendapat DPRD Tana Toraja 3 Oktober 2011 mengindikasikan telah terjadi tindak korupsi dan penyalahgunaan keuangan negara. Aparat penegak hukum di Tana Toraja bekerja lambat untuk mengusut kasus ini. Dua rumpun keluarga Mengkendek telah melakukan gugatan perdata hingga tingkat banding. Karena itu, penyimpangan aturan oleh Panitia 9 justru mulai dibongkar lewat gugatan perdata. Tanah ulayat wilayah adat Tongkonan keturunan Puang Mengkendek luasnya lebih dari 270 hektare, area bergelar Pitu Lombok Pitu Tanete, di Lembang (desa) Borisan Rinding Kecamatan Mengkendek dinyatakan tidak termasuk ke dalam rencana pembebasan lahan untuk bandara. Ternyata, 42 hektar diantaranya ditetapkan 39 nama sebagai pemilik oleh Tim 9. 11 orang diantaranya telah menerima ganti rugi sekitar Rp.6.000.000. Ke- 39 nama warga adalah penjaga yang diberi wewenang menggarap lahan oleh para pewaris Puang Mengkendek.
Lokasi lain, lahan seluas 20 hektar bergelar Lombok Sumpu, di dusun Buasan, Lembang Tampo Simbuang Kecamatan Mengkendek, telah ditebus Rp.2,5 milyar oleh Tim 9, uang ganti rugi itu diterima oleh 2 orang yang bukan pewaris Puang Birro.
Tim 9 turut mensahkan Bentang sungai Piri yang melintas di Lembang Buntu Marinding dan sungai Mauwe di Lembang Tampo Simbuang yang diperkirakan mencapai 11 hektar lahan kering milik penduduk yang harus diberi ganti rugi, demikian pula Tim 9 telah membayarkan ganti rugi atas lahan untuk sekitar 3 hektar hutan lindung (tanah negara) Mapongka Mengkendek yang diklaim sebagai milik 8 orang. Beberapa hal yang menjadi catatan, telah terjadi pemalsuan tandatangan dalam dokumen penerimaan pembayaran ganti rugi lahan, pembayaran ganti rugi lahan kepada pemilik tanah yang tidak sah atau fiktif, mark up besaran ganti rugi terutama terhadap lahan yang dibebaskan dan penggelembungan harga dengan mengubah kategori tanah kering menjadi tanah basah /sawah.
Polda Sulselbar tetapkan dua orang tersangka, SekDa Tana Toraja Enos Karoma dan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Enos Karoma dengan kapasitas sebagai ketua Tim 9 dan Ruben Rombe Randa kapasitasnya sebagai anggota Tim 9. Ditetapkkannya Enos Karoma Ketua Tim 9 sebagai tersangka dan langsung dilakukan penahanan oleh penyidik Krimsus di rutan Mapolda Sulselbar Jumat (27/4/2013) dinihari, atas pelanggaran Pasal 2 ayat 1 subs pasal 3 UU RI no 31 tahun 1999 jo UURI No. 20 tahun 2011 atas perubahan UU RI No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana, jelas Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sulselbar Kombes Dr H Endi sutendi Sik,SH,Mh. Kabid Humas Polda menyatakan, tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka kasus ini akan terus bertambah. Secara diam-diam Polda Sulselbar ternyata sudah melakukan pemeriksaan terhadap Bupati Tana Toraja Theofilus Allorerung, terkait kasus ganti rugi lahan Bandara Buntu Kuni, Tana Toraja. Pemeriksaan terhadap Theofilus terkesan disembunyikan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulselbar. “Pekan lalu Bupati Tana Toraja sudah dimintai keterangan oleh penyidik. Ini juga baru saya tahu dari penyidik,” kata Kabid Humas Polda Sulselbar Kombes Pol Endi Sutendi.
© Christian Sjioen
No comments:
Post a Comment