Manusia dalam proses penciptaan sesuai Alkitab, merupakan “gambar” (צלם, tselem) Allah. Pernyataan gambar dalam berbagai diskusi di abad pertama hingga abad pertengahan yang dilakukan oleh para filsuf menghasilkan berbagai intepretasi yang berbeda. Salah satu contoh, filsuf Moses Maimonides mengatakan bahwa itu .. "intelek ilah” yang bergabung dengan manusia ... bahwa dia adalah 'dalam gambar Tuhan dan kemiripannya, bukan Tuhan itu sendiri… yang memiliki tubuh atau memiliki bentuk ”(1.1). Selanjutnya Maimonides mendefinisikan “gambar” atau citra sebagai wujud intelek abstrak dengan representasi fisik dari yang ilahi di bumi.
Menurut Profesor Alkitab Ibrani Dr Nicholas J. Schaser, di Kitab Kejadian 1 : 27 - 28 (|#). Para penulis Alkitab menggunakan tselem (צלם, tselem) untuk menggambarkan patung-patung atau "berhala-berhala" dari tetangga politeistik mereka. Hal ini berkaitan dengan perintah Jahweh kepada orang Israel bahwa ketika mereka memasuki Kanaan mereka harus “ mengusir semua penduduk… dan menghancurkan semua gambar (צלם, tselem) lebur mereka ” (Bil. 33:52). Tetangga atau penduduk di sekeliling Kanaan adalah bangsa yang menempatkan gambar atau patung tuangan ke dalam kuill mereka sehingga para penyembah dapat tunduk pada representasi dewa dewi di bumi.
Dalam sebuah teks Mesir yang disebut Memphite Theology, dewa superior, Ptah, memerintah untuk dibangun berhala bagi dewa-dewa lainnya sehingga mereka memiliki “tubuh” untuk dihuni di kuill mereka: “[Ptah] mendirikan kuil [dewa], ia membuat tubuh mereka menurut untuk keinginan mereka. Dengan demikian, para dewa masuk ke dalam tubuh mereka dari setiap kayu, setiap batu, setiap tanah liat ”(AEL 1.59-60).
Mengapa sedemikian rumit sebuah proses penciptaan manusia ?
Pertanyaan seorang anak kecil kepada ibunya, “ Untuk apa saya lahir ke dunia ? ” mungkin sangat sederhana namun jawabannya tentu tidak dapat sama sederhananya dengan pertanyaan itu. Para filsuf dan rabi Yahudi pernah bersentuhan dengan kesederhanaan pertanyaan ini. Setara dengan pandangan Maimonides, “ intelek abstrak “ maka dibelakang pertanyaan sederhana tadi akan menyusul pertanyaan yang tidak lagi sederhana. Jika manusia itu merupakan representasi Tuhan dalam “Bentuk” ( tubuh ), Intelektual ( Akal ) untuk apa manusia diciptakan yang pada akhirnya menyulitkan diriNya sendiri ?.
Para kabalist berabad yang lalu mengubur dalam-dalam dokumen mereka tentang penciptaan manusia dengan pendekatan spiritualitas. “ Tuhan memberi Bentuk dan Akal dalam dimensi Ruang dan Waktu dengan kekuasaan mutlak sedang manusia menerima Bentuk dan Akal pada dimensi Ruang dan Waktu dengan spiritualitas. ”
Jika proses penciptaan manusia dikatakan rumit, tidak bagi Tuhan tetapi rumit untuk manusia. Manusia menemukan gambar dirinya harusnya melalui pendekatan spiritualitas agar mampu menjabarkan “ intelektual abstrak “ milik sang Ilahi. Manusia secara pribadi harus menemukan citranya sendiri. Citra dirinya atas kahadiran dirinya di muka bumi sebagai Amanat Agung Sang Ilahi.
Bukankah Tuhan mengenali diri kita sejak dari pembentukan tulang kita di rahim ?
Sanggupkah diri kita menjadi satu karya agung milik Tuhan di kehidupan ini ?